Komunikasi Verbal

SHARE THIS

Share to:

Facebook Twitter

Komunikasi Verbal

Komunikasi Verbal - Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol dengan aturan untuk mengkomunikasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Pesan atau simbol verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas individual kita. Konsekuensinya, kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata-kata itu, Misalnya kata, rumah, kursi, mobil atau mahasiswa. Realitas apa yang diwakili oleh setiap kata itu? Kata rumah umpamanya, begitu banyak ragam kata yang menunjuk rumah. Ada rumah bertingkat, rumah mewah, rumah sederhana (RS), ada RSS atau RSH, dan sebagainya. Kita tidak menyadari pentingnya bahasa, karena kita sepanjang hidup menggunakannya. Kita baru sadar bahasa itu penting ketika kita menemui jalan buntu dalam menggunakan bahasa.

Fungsi bahasa yang mendasar adalah untuk menamai atau menjuluki orang, objek dan pariwisata. Setiap orang mempunyai nama untuk diidentifikasi sosial. Orang juga dapat menamai apa saja, objek-objek yang berlainan, termasuk perasaan tertentu yang mereka alami. Penamaan adalah dimensi pertama bahasa dan basis bahasa. Berkaitan dengan ini, Larry L. Barker (dalam Mulyana, 2001: 243) menjelaskan tiga fungsi bahasa yaitu: penamaan (naming atau labeling), interaksi dan transmisi informasi. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasi objek, tindakan atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam emosi, yang mengandung simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain. Fungsi bahasa sebagai fungsi informasi menekankan bahwa tanpa bahasa kita tidak mungkin bertukar informasi, kita tidak mungkin menghadirkan semua objek dan tempat untuk kita rujuk dalam komunikasi kita. Selain itu, agar komunikasi kita berhasil setidaknya bahasa harus memenuhi tiga fungsi, yaitu: mengenal dunia sekitar kita; berhubungan dengan orang lain; dan untuk menciptakan kohensi dalam kehidupan kita.

Berbicara tentang komunikasi verbal, yang porsinya kurang lebih 35% dari keseluruhan komunikasi kita, banyak orang yang tidak sadar bahwa bahasa itu terbatas. Bukti keterbatasan bahasa dapat dilihat sebagai berikut:

a. Keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk mewakili objek
Penggunaan komunikasi verbal pada dasarnya sangat terbatas, yang porsinya hanya sepertiga dari keseluruhan komunikasi kita. Jumlah kata-kata memiliki keterbatasan untuk mewakili objek. Kata-kata adalah kategori-kategori untuk merujuk pada objek tertentu; orang, benda, peristiwa, sifat, perasaan, dsb. Tidak semua kata tersedia untuk merujuk pada objek. Satu kata hanya mewakili realitas, tetapi bukan realitas itu sendiri. Seperti halnya kata-kata sifat dalam bahasa cenderung dikotomis, misalnya baik-buruk, kaya-miskin, pintar-bodoh, tebal-tipis. Padahal, realitas yang sebenarnya tidaklah bersifat hitam putih, tetapi terdiri dari jutaan corak abu-abu dan warna lainnya atau masih banyak kategori yang berada pada tengah-tengah dikotomi kedua posisi tersebut. Di antara konsep kaya dan miskin, misalnya masih banyak orang yang tidak mau digolongkan pada keduanya.

b. Kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual
Kata-kata bersifat ambigu karena kata-kata mempresentasikan persepsi dan interpretasi orang-orang yang berbeda, yang menganut latarbelakang sosial budaya yang berbeda pula. Oleh karena itu, terdapat berbagai kemungkinan untuk memaknai berbagaikemungkinan untuk memaknai kata-kata tersebut. Kata "berat" mempunyai makna yang beranekaragam ketika digunakan untuk konteks seperti berikut ini. Tubuh orang itu berat, ujian itu berat, kepala saya berat, dosen itu memberi sanksi yang berat kepada mahasiswa yang menyontek, dan masih banyak yang lainnya.

c. Kata-kata mengandung bias budaya
Bahasa terikat oleh konteks budaya. Dengan kata lain, bahasa dapat dipandang sebagai perluasan budaya. Bahasa yang berbeda sebenarnya mempengaruhi pemakainya dalam berpikir, melihat lingkungan alam semesta di sekitarnya secara berbeda, tentunya akan menghasilkan perilaku secara berbeda pula. Banyak contoh bahsa daerah, seperti tingkatan-tingkatan bahasa jawa dan sunda menunjukkan alam pikiran yang berbeda bagi pihak-pihak yang menggunakan bahasa tersebut.

d. Pencampuradukan fakta, penafsiran dan penilaian

Dalam bahasa kita sering mencampuradukan fakta (uraian), penafsiran (dugaan) dan penilaian. Masalah ini berkaitan dengan kekeliruan persepsi. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mencampuradukan antara fakta dengan dugaan. Banyak peristiwa yang kita anggap fakta sebenarnya merupakan dugaan yang berdasarkan kemungkinan, misalnya "Audien bingung (atau sedih, ngambek, bahagia)". Kebanyakan orang menganggap "Audien bingung" sebagai pernyataan fakta. Kalau kita orang yang membicarakan, "Bagaimana kamu tahu?" ia mungkin akan menjawabnya, "Saya kan melihatnya!". Jawaban yang lebih akurat adalah wajahnya bersemu merah ketika saya katakan padanya bahwa Judika memperoleh nilai lebih tinggi daripada dia". Jawaban itu lebih faktual karena menguraikan perilaku yang mendasari dugaan anda mengenai kemarahan audien. Komunikasi kita akan lebih efektif kalau kita memisahkan penyertaan fakta dengan dugaan.

Komunikasi dalam bahasa yang sama dapat menimbulkan salah pengertian, apalagi bila kita tidak menguasai bahasa lawan bicara kita. Untuk melakukan komunikasi yang efektif, kita harus menguasai bahasa mitra komunikasi kita. Perbedaan bahasa dapat menimbulkan kesulitan lebih jauh dari pada sekedar kekeliruan penerjemahan. Kita sering sulit menerjemahkan sebuah kata ko bahasa yang lain, karena tidak ada padanannya dalam bahasa itu, meskipunkita bisa mengira-ngira artinya.

Komunikasi Konteks Tinggi dan Komunikasi Konteks Rendah 
Setiap orang secara pribadi punya gaya khas dalam berbica, bukan hanya caranya tetapi topik-topik yang dibicarakan. Kekhasan ini umumnya diwarisi setiap orang dari budayanya. Berkaitan dengan perbedaan cara komunikasi dan memaknai pesan, Edward T. Hall (1973) membedakan budaya konteks tinggi (high-context culture) dengan budaya konteks rendah (low-context culture) (dalam Mulyana, 2001: 294). Budaya konteks rendah ditandai dengan komunikasi dengan pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung, lugas dan berterus terang. Para penganut budaya konteks rendah ini mengatakan apa yang mereka katakan. Bila mereka mengatakan "Yes", itu berarti mereka benar-benar menerima dan setuju. Sebaliknya, budaya konteks tinggi ditandai dengan komunikasi: kebanyakan pesan bersifat implisit, tidak langsung dan tidak berterus terang dan bertele-tele (banyak basa-basi). Pesan sebenarnya yang mungkin tersembunyi dalam perilaku nonverbal pembicara: intonasi suara, gerakan tangan, postur badan, ekspresi wajah, tatapan mata, atau bahkan konteks fisik (dandanan, penataan ruangan, benda-benda aksesoris dan sebagainya).

Sumber:
Yasir, 2009, Pengantar Ilmu Komunikasi, Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Riau, Pekanbaru. Hal: 91-94

Daftar Referensi:
Mulyana, Deddy, 2001, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Remaja Rosdakarya Bandung.

Hi... I'm Martius, You can find more about me. Thanks for coming to my blog and hope you enjoy it.

0 komentar

Posting Komentar